Masih ragu untuk menikah? Alasannya karena belum siap dalam hal finansial? Inilah yang seringkali mendera para lajang mengapa masih menunda-nunda untuk menjalankan sunnah Rasul ini.
Bagi ikhwan, kesiapan finansial selalu menjadi hal yang sangat perlu dipertimbangkan sebelum benar-benar mantap mengakhiri masa lajang. Pasalnya, ia-lah yang nanti bertanggungjawab memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya kelak.
Kesiapan finansial rupanya juga mempengaruhi kondisi psikis si ikhwan ketika hendak meminang sang bidadari. Kekhawatiran pun muncul jika nanti orangtua si gadis sampai bertanya, “Kerjanya dimana? Gajinya sebulan berapa?” Sementara kerja masih serabutan. Penghasilan selama sebulan juga tak seberapa. Bagaimana jika ditolak? Terlebih, saat tahu bahwa keluarga sang bidadari ternyata merupakan keluarga berada.
Karena merasa belum siap dalam hal finansial, banyak para ikhwan mengundur-undur waktu untuk melamar sang bidadari yang memikat hatinya tersebut. Alhasil, banyak pula mereka yang akhirnya patah hati karena sang bidadari sudah keburu dilamar oleh ikhwan lain. Ada juga yang sampai menyesal kenapa tak kunjung melamar sang bidadari, karena ternyata si ikhwan yang dipilih sang bidadari tersebut nasibnya tak jauh beda dengannya: masih kerja serabutan dengan penghasilan yang tak seberapa pula.
Alasan kesiapan finansial memang selalu dijadikan indikator utama ketika seseorang hendak memutuskan untuk menikah. Yang jadi pertanyaan kemudian, seberapa besar ukuran “siap” dalam sisi keuangan bagi seseorang untuk segera menikah? Apakah harus sudah bekerja dengan gaji tetap sekian juta per bulannya, punya tabungan yang cukup untuk modal nikah (seperti memberi mahar, biaya resepsi pernikahan dan lain-lain), rumah lengkap dengan perabotnya, kendaraan dan sebagainya?
Menikah, Harus Sudah Bekerja?
Sebetulnya, sudah bekerja atau belum bekerja, jika memang sudah siap silahkan saja menikah. Dalam agama, tidak ada aturan yang mengatur bahwa: kalau menikah berarti harus sudah bekerja. Kata kuncinya bukan sudah bekerja atau belum, melainkan adalah sudah siap menanggung beban nafkah keluarga setelah menikah nanti. Ini karena memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya menjadi kewajiban suami dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana caranya bisa menanggung nafkah kalau belum bekerja? Perlu dicatat sobat muda, yang diperlukan menanggung nafkah bukanlah pekerjaan, melainkan penghasilan. Untuk membedakan antara bekerja dengan berpenghasilan ini, kita lihat pada contoh berikut.
“Dengan bekal pendidikan yang tinggi, Budi memiliki pekerjaan yang cukup baik. Sayangnya, nasib keuangannya buruk. Hutangnya juga menumpuk disana-sini. Bukan karena gajinya yang tidak cukup karena harus menanggung beban nafkah orang lain, tetapi lebih karena gaya hidupnya yang boros. Akibatnya, gaji yang diterima setiap akhir bulan sudah habis sebelum tanggal gajian berikutnya tiba.
Sementara Doni baru saja menyelesaikan kuliah S1-nya dan berniat untuk langsung meneruskan ke jenjang S2. Beasiswa yang diterimanya dari “Yayasan Ayah Bunda” alias orangtuanya sendiri meliputi biaya kuliah dan biaya hidup sampai selesai S2. Demikian halnya dengan Catur, seorang mahasiswa tingkat akhir yang belum lama ini kehilangan kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan. Tapi ternyata ia tidak hidup dalam kesusahan. Memang tidak terlalu besar, namun sebagai anak tunggal, kedua orangtuanya meninggalkan warisan dan manfaat asuransi yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan kuliahnya dan biaya hidup beberapa tahun setelah itu.”
Nah, sudah jelas bukan? Bekerja tidak berarti segala kebutuhan hidup kita terjamin. Sebaliknya, jika kita tidak bekerja, bukan berarti pula tidak punya penghasilan. Kesimpulannya, indikasi utama adalah adanya kemampuan seorang ikhwan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalannya bisa melalui penghasilan dari bekerja, usaha yang diturunkan kepadanya, atau peninggalan orangtua. Ini sah saja selama tidak merugikan pihak lain.
Mapan Dulu Baru Menikah atau Menikah agar Mapan?
Ya, kemapanan seringkali merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk menikah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah jika belum mapan dari sisi keuangan. Ada saja ikhwan yang tidak mau melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri atau memiliki karier yang mapan di perusahaan. Begitu juga akhwat, beberapa dari mereka lebih berharap yang datang melamar adalah ikhwan yang sudah “jadi”, apalagi jika ia sendiri sudah cukup matang dari segi finansial.
Jika sobat muda juga berpikir seperti ini, ketahuilah bahwa menunggu kemapanan ekonomi untuk menikah (atau dinikahi) ibarat seperti naik helikopter dan ingin langsung melihat pemandangan tanpa melalui susah payahnya mendaki gunung. Tentu rasanya berbeda menikmati pemandangan dengan mendaki gunung terlebih dahulu. Ketika kita harus jalan kaki naik gunung dengan susah payah, maka perasaan saat melihat pemandangan tersebut akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan melihatnya langsung dari helikopter. Yang membuatnya berbeda bukan kualitas gambar pemandangan yang dihasilkan mata, melainkan pada proses pencapaiannya.
Ada proses yang mesti dijalani terlebih dahulu, yang tentu menambah keindahan yang kita peroleh setelah berusaha. Begitu juga akan berbeda rasanya ketika kita langsung melihat pemandangannya tanpa bersusah payah dahulu untuk mendaki gunung. Pemandangan yang dilihat memang sama, tetapi perasaannya akan berbeda karena prosesnya yang berbeda.
Begitu pula dengan proses pernikahan.
Perasaannya akan jauh berbeda jika kita dan pasangan kita berjuang bersama dari titik nol menuju titik kesuksesan daripada kita mengajak pasangan kita untuk langsung berada di titik kemapanan. Sebagian para ikhwan berpendapat, mereka tidak ingin mengajak pasangannya sengsara. Biarlah mereka saja yang melalui sulitnya menuju kemapanan, dan nantinya mereka akan mengajak calon pasangan hidup mereka untuk berumah tangga setelah mereka sudah mapan agar pasangannya kelak tidak perlu merasakan kesulitan dan susah payahnya mencapai kesuksesan itu.
Diakui atau tidak, ini sekadar pembenaran saja dari ketakutan para lajang dalam menghadapi cobaan (berdua). Mereka mungkin hanya tidak ingin terlihat ketika sedang gagal, mereka hanya ingin terlihat sudah berhasil.
Antara Ragu, Nekat, Berani dan Tawakal
Untuk yang masih ragu menikah hanya karena alasan finansial semata, ketahuilah bahwa Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nuur [24] : 32] Jangan karena merasa miskin, maka kita takut untuk menikah. Ingat, janji Allah itu pasti, bahwa Allah akan memampukan dengan karunia-Nya.
Lalu bagaimana dengan nekat, berani dan tawakal sendiri? Terkadang, antara berani dan nekat perbedaannya memang sangat tipis sekali. Dikatakan berani jika melakukan sesuatu yang luar biasa dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Sedangkan nekat adalah melakukan sesuatu tanpa persiapan sama sekali. Jika seseorang akan melompat dari jembatan dengan tali bunjee dan sudah diukur secara cermat serta diawasi para ahli, maka itu dikatakan berani. Tapi kalau ada yang hendak lompat dari jempatan dengan mengikat pada tali seadanya, tanpa pengetahuan teknis yang memadai, itulah yang dikatakan nekat.
Dari dua pengertian tadi, tampaklah bahwa berani itu mengandung makna positif, sedangkan nekat bermakna negatif. Namun, berani saja belum tentu benar. Karena yang dimaksud berani ini belum tentu bertawakal. Orang yang berani-dengan segala persiapan dan kesiapan professional-belum tentu bisa dikatakan sebagai orang yang bertawakal dan pasrah atas ketentuan Allah. Bisa jadi ia banyak latihan, bisa jadi pula ia punya perangkat pengamanan yang memadai.
Tapi saat mentalnya mengatakan, kalau memang sudah waktunya mati ya mati saja, orang ini hanya berani hidup, tetapi tidak berani mati.
Ia bukannya bersiap menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi justru tidak peduli dengan masa depannya. Orang yang berani hidup dan mati adalah orang yang tawakal kepada Allah. Ia siap dengan segala keputusan Allah atas ikhtiar yang dilakukannya. Terhadap rezeki Allah, ia senantiasa harus bertawakal, yakni berusaha untuk menjemput rezeki yang memang sudah disiapkan Allah untuk hamba-Nya. Bukan dengan duduk diam, lalu menunggu rezeki datang dari langit.
Kembali ke masalah pernikahan. Jika seorang laki-laki melamar seorang gadis dengan hanya bermodalkan niat baik untuk segera menikah, tanpa persiapan apapun, itu namanya nekat. Namun, jika menunggu harta terkumpul banyak, baru kemudian berani melamar gadis, itulah yang disebut berani, tetapi kurang tawakal. Sedangkan jika kita banyak berdoa agar Allah mendekatkan jodoh, lalu kemudian melamar seorang gadis tanpa persiapan itu namanya nekat tapi mengaku tawakal.
Pemuda yang berani dan bertawakal adalah pemuda yang berdoa agar mendapatkan yang terbaik. Tidak hanya itu, ia pun telah siap meski harus menghadapi kenyataan yang pahit. Tidak hanya berdoa atau menunggu keuangan melimpah, tetapi ia sempurnakan ikhtiarnya mencari ma’isyah agar layak mempersunting “Aisyah”. [ntz]
*Beberapa bagian dikutip dari buku “Aisyah dan Ma’isyah” karya Ahmad Gozali.
Dari : Majalah Respon <respon_mta@yahoo.com>
Bagi ikhwan, kesiapan finansial selalu menjadi hal yang sangat perlu dipertimbangkan sebelum benar-benar mantap mengakhiri masa lajang. Pasalnya, ia-lah yang nanti bertanggungjawab memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya kelak.
Kesiapan finansial rupanya juga mempengaruhi kondisi psikis si ikhwan ketika hendak meminang sang bidadari. Kekhawatiran pun muncul jika nanti orangtua si gadis sampai bertanya, “Kerjanya dimana? Gajinya sebulan berapa?” Sementara kerja masih serabutan. Penghasilan selama sebulan juga tak seberapa. Bagaimana jika ditolak? Terlebih, saat tahu bahwa keluarga sang bidadari ternyata merupakan keluarga berada.
Karena merasa belum siap dalam hal finansial, banyak para ikhwan mengundur-undur waktu untuk melamar sang bidadari yang memikat hatinya tersebut. Alhasil, banyak pula mereka yang akhirnya patah hati karena sang bidadari sudah keburu dilamar oleh ikhwan lain. Ada juga yang sampai menyesal kenapa tak kunjung melamar sang bidadari, karena ternyata si ikhwan yang dipilih sang bidadari tersebut nasibnya tak jauh beda dengannya: masih kerja serabutan dengan penghasilan yang tak seberapa pula.
Alasan kesiapan finansial memang selalu dijadikan indikator utama ketika seseorang hendak memutuskan untuk menikah. Yang jadi pertanyaan kemudian, seberapa besar ukuran “siap” dalam sisi keuangan bagi seseorang untuk segera menikah? Apakah harus sudah bekerja dengan gaji tetap sekian juta per bulannya, punya tabungan yang cukup untuk modal nikah (seperti memberi mahar, biaya resepsi pernikahan dan lain-lain), rumah lengkap dengan perabotnya, kendaraan dan sebagainya?
Menikah, Harus Sudah Bekerja?
Sebetulnya, sudah bekerja atau belum bekerja, jika memang sudah siap silahkan saja menikah. Dalam agama, tidak ada aturan yang mengatur bahwa: kalau menikah berarti harus sudah bekerja. Kata kuncinya bukan sudah bekerja atau belum, melainkan adalah sudah siap menanggung beban nafkah keluarga setelah menikah nanti. Ini karena memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya menjadi kewajiban suami dalam rumah tangga.
Lalu bagaimana caranya bisa menanggung nafkah kalau belum bekerja? Perlu dicatat sobat muda, yang diperlukan menanggung nafkah bukanlah pekerjaan, melainkan penghasilan. Untuk membedakan antara bekerja dengan berpenghasilan ini, kita lihat pada contoh berikut.
“Dengan bekal pendidikan yang tinggi, Budi memiliki pekerjaan yang cukup baik. Sayangnya, nasib keuangannya buruk. Hutangnya juga menumpuk disana-sini. Bukan karena gajinya yang tidak cukup karena harus menanggung beban nafkah orang lain, tetapi lebih karena gaya hidupnya yang boros. Akibatnya, gaji yang diterima setiap akhir bulan sudah habis sebelum tanggal gajian berikutnya tiba.
Sementara Doni baru saja menyelesaikan kuliah S1-nya dan berniat untuk langsung meneruskan ke jenjang S2. Beasiswa yang diterimanya dari “Yayasan Ayah Bunda” alias orangtuanya sendiri meliputi biaya kuliah dan biaya hidup sampai selesai S2. Demikian halnya dengan Catur, seorang mahasiswa tingkat akhir yang belum lama ini kehilangan kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan. Tapi ternyata ia tidak hidup dalam kesusahan. Memang tidak terlalu besar, namun sebagai anak tunggal, kedua orangtuanya meninggalkan warisan dan manfaat asuransi yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan kuliahnya dan biaya hidup beberapa tahun setelah itu.”
Nah, sudah jelas bukan? Bekerja tidak berarti segala kebutuhan hidup kita terjamin. Sebaliknya, jika kita tidak bekerja, bukan berarti pula tidak punya penghasilan. Kesimpulannya, indikasi utama adalah adanya kemampuan seorang ikhwan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalannya bisa melalui penghasilan dari bekerja, usaha yang diturunkan kepadanya, atau peninggalan orangtua. Ini sah saja selama tidak merugikan pihak lain.
Mapan Dulu Baru Menikah atau Menikah agar Mapan?
Ya, kemapanan seringkali merupakan salah satu pertimbangan para lajang untuk menikah. Tidak sedikit dari mereka yang memilih menunda untuk menikah jika belum mapan dari sisi keuangan. Ada saja ikhwan yang tidak mau melamar akhwat sebelum ia punya rumah sendiri atau memiliki karier yang mapan di perusahaan. Begitu juga akhwat, beberapa dari mereka lebih berharap yang datang melamar adalah ikhwan yang sudah “jadi”, apalagi jika ia sendiri sudah cukup matang dari segi finansial.
Jika sobat muda juga berpikir seperti ini, ketahuilah bahwa menunggu kemapanan ekonomi untuk menikah (atau dinikahi) ibarat seperti naik helikopter dan ingin langsung melihat pemandangan tanpa melalui susah payahnya mendaki gunung. Tentu rasanya berbeda menikmati pemandangan dengan mendaki gunung terlebih dahulu. Ketika kita harus jalan kaki naik gunung dengan susah payah, maka perasaan saat melihat pemandangan tersebut akan sangat berbeda bila dibandingkan dengan melihatnya langsung dari helikopter. Yang membuatnya berbeda bukan kualitas gambar pemandangan yang dihasilkan mata, melainkan pada proses pencapaiannya.
Ada proses yang mesti dijalani terlebih dahulu, yang tentu menambah keindahan yang kita peroleh setelah berusaha. Begitu juga akan berbeda rasanya ketika kita langsung melihat pemandangannya tanpa bersusah payah dahulu untuk mendaki gunung. Pemandangan yang dilihat memang sama, tetapi perasaannya akan berbeda karena prosesnya yang berbeda.
Begitu pula dengan proses pernikahan.
Perasaannya akan jauh berbeda jika kita dan pasangan kita berjuang bersama dari titik nol menuju titik kesuksesan daripada kita mengajak pasangan kita untuk langsung berada di titik kemapanan. Sebagian para ikhwan berpendapat, mereka tidak ingin mengajak pasangannya sengsara. Biarlah mereka saja yang melalui sulitnya menuju kemapanan, dan nantinya mereka akan mengajak calon pasangan hidup mereka untuk berumah tangga setelah mereka sudah mapan agar pasangannya kelak tidak perlu merasakan kesulitan dan susah payahnya mencapai kesuksesan itu.
Diakui atau tidak, ini sekadar pembenaran saja dari ketakutan para lajang dalam menghadapi cobaan (berdua). Mereka mungkin hanya tidak ingin terlihat ketika sedang gagal, mereka hanya ingin terlihat sudah berhasil.
Antara Ragu, Nekat, Berani dan Tawakal
Untuk yang masih ragu menikah hanya karena alasan finansial semata, ketahuilah bahwa Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. An-Nuur [24] : 32] Jangan karena merasa miskin, maka kita takut untuk menikah. Ingat, janji Allah itu pasti, bahwa Allah akan memampukan dengan karunia-Nya.
Lalu bagaimana dengan nekat, berani dan tawakal sendiri? Terkadang, antara berani dan nekat perbedaannya memang sangat tipis sekali. Dikatakan berani jika melakukan sesuatu yang luar biasa dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Sedangkan nekat adalah melakukan sesuatu tanpa persiapan sama sekali. Jika seseorang akan melompat dari jembatan dengan tali bunjee dan sudah diukur secara cermat serta diawasi para ahli, maka itu dikatakan berani. Tapi kalau ada yang hendak lompat dari jempatan dengan mengikat pada tali seadanya, tanpa pengetahuan teknis yang memadai, itulah yang dikatakan nekat.
Dari dua pengertian tadi, tampaklah bahwa berani itu mengandung makna positif, sedangkan nekat bermakna negatif. Namun, berani saja belum tentu benar. Karena yang dimaksud berani ini belum tentu bertawakal. Orang yang berani-dengan segala persiapan dan kesiapan professional-belum tentu bisa dikatakan sebagai orang yang bertawakal dan pasrah atas ketentuan Allah. Bisa jadi ia banyak latihan, bisa jadi pula ia punya perangkat pengamanan yang memadai.
Tapi saat mentalnya mengatakan, kalau memang sudah waktunya mati ya mati saja, orang ini hanya berani hidup, tetapi tidak berani mati.
Ia bukannya bersiap menghadapi apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi justru tidak peduli dengan masa depannya. Orang yang berani hidup dan mati adalah orang yang tawakal kepada Allah. Ia siap dengan segala keputusan Allah atas ikhtiar yang dilakukannya. Terhadap rezeki Allah, ia senantiasa harus bertawakal, yakni berusaha untuk menjemput rezeki yang memang sudah disiapkan Allah untuk hamba-Nya. Bukan dengan duduk diam, lalu menunggu rezeki datang dari langit.
Kembali ke masalah pernikahan. Jika seorang laki-laki melamar seorang gadis dengan hanya bermodalkan niat baik untuk segera menikah, tanpa persiapan apapun, itu namanya nekat. Namun, jika menunggu harta terkumpul banyak, baru kemudian berani melamar gadis, itulah yang disebut berani, tetapi kurang tawakal. Sedangkan jika kita banyak berdoa agar Allah mendekatkan jodoh, lalu kemudian melamar seorang gadis tanpa persiapan itu namanya nekat tapi mengaku tawakal.
Pemuda yang berani dan bertawakal adalah pemuda yang berdoa agar mendapatkan yang terbaik. Tidak hanya itu, ia pun telah siap meski harus menghadapi kenyataan yang pahit. Tidak hanya berdoa atau menunggu keuangan melimpah, tetapi ia sempurnakan ikhtiarnya mencari ma’isyah agar layak mempersunting “Aisyah”. [ntz]
*Beberapa bagian dikutip dari buku “Aisyah dan Ma’isyah” karya Ahmad Gozali.
Dari : Majalah Respon <respon_mta@yahoo.com>
0 komentar:
Posting Komentar